KAEL VERIDIAN JILID IV
2025
Abstract
Di antara kabut yang menggantung di atas lembah purba, di malam yang senyap saat bintang-bintang menolak bicara, seorang pemuda berdiri di puncak gunung dengan mata terpejam. Ia bukan sekadar menunggu fajar. Ia menunggu gema. Sebuah gema yang telah hilang ribuan tahun. Sebuah nada yang bukan dari bumi, namun menyusupi tulang-tulang para leluhur. "Aku mendengar suara yang tak bersumber dari dunia ini. Ia tidak datang dari langit, tidak pula dari bumi. Ia datang dari di antara keduanya. Suara yang hanya bisa didengar oleh mereka yang hening." -Suluk Swara Sagara Kael, nama pemuda itu, bukan siapa-siapa. Namun malam itu, ia menjadi penyambung suara yang pernah dibisukan sejarah. Di antara batuan megalit yang tertidur, di altar tak bernama, Kael merasakan dunia bergetar, bukan karena gempa, melainkan karena sebuah ingatan purba yang mencoba bangkit. Ia ingat kata-kata sang guru yang sudah lama menghilang: "Ketika bumi berhenti bersuara, maka engkau harus menjadi suaranya. Tapi suara itu bukan dari mulut, melainkan dari jiwa yang bersujud." Langit berkilat. Angin membawa aroma cendana dan tanah basah. Sebuah gema mulai terdengar pelan… seolah nada pertama dari sebuah simfoni takdir. "Kami telah mendengar suara yang sama. Ia yang bersaksi dari zaman Atlantis, ia yang menyampaikan pesan dari langit ke tujuh. Dengarkanlah. Maka kau akan tahu siapa dirimu." Dan dari kejauhan, di batas antara tidur dan jaga, Kael melangkah ke dalam perjalanan yang tak lagi dapat ditinggalkan. Sebuah jalan sunyi menuju kebenaran tersembunyi.