Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden Prabowo mempertahankan makna reshuffle sebagai kocok ulang kabinet secara acak.
Pemilihan menteri tak didasari kompetensi, tapi dengan tawar-menawar kepentingan dan akomodasi politik.
Dalam arena politik, reshuffle makin populer setelah Reformasi 1998.
SEMENTARA makna prerogatif makin menggelembung dalam arena politik Indonesia, kata reshuffle makin mendekati definisi aslinya. Setidaknya, dalam dua kali perombakan kabinet oleh Presiden Prabowo Subianto sebulan terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masuk kosakata bahasa Inggris pada 1800, awalnya reshuffle berfungsi sebagai kata kerja untuk menyebut kocok ulang kartu remi, dari “re” = ulang dan “shuffle” = kocok acak. Ia berubah menjadi kata benda hampir seratus tahun kemudian untuk menyebut perombakan posisi pejabat publik dalam kosakata politik.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, kata reshuffle untuk menyebut kocok ulang posisi menteri baru muncul pada 1984. Itu pun untuk menyebut perombakan kabinet Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Tahun 1977, setidaknya di majalah Tempo, kata ini muncul untuk menyebut perombakan pengurus Partai Demokrasi Indonesia.
Sepanjang masa Orde Baru, tak ada berita yang memuat kata reshuffle tentang perombakan kabinet di Indonesia. Presiden Soeharto menunjuk orang-orang kepercayaannya dengan menghitung kompetensi dan pengalaman. Di masa dia, muncul istilah teknokrasi yang merujuk pada penunjukan orang-orang terpelajar menjadi menteri di bidang yang cocok dengan latar belakang keilmuan mereka. Karena itu, jarang ada penggantian menteri secara mendadak di tengah masa jabatan.
Kata reshuffle baru muncul lagi pada 2000 di era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Menteri lama digeser atau diganti karena mundur atau meninggal. Ada juga yang didepak karena tensi politik. Sebagai presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa, dengan hanya 12,61 persen suara di Dewan Perwakilan Rakyat, kursi Gus Dur mendapat banyak rongrongan politikus partai lain.
Selama masa pemerintahannya yang pendek, 22 bulan sejak Oktober 1999, Gus Dur merombak kabinet 13 kali—terbanyak dari semua presiden. Sebagai presiden pertama yang dipilih dalam pemungutan suara di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Gus Dur memimpin pemerintahan di tengah peran partai yang menguat setelah Reformasi.
Sejak itu, reshuffle menjadi kata yang akrab dalam arena politik Indonesia. Pemilihan presiden langsung tak melahirkan presiden yang didukung partai dengan suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya, pemerintahan dijalankan dengan koalisi. Sistem presidensial pun bercampur baur dengan gaya parlementer yang memungkinkan penggantian menteri untuk mengakomodasi kepentingan politik.
Di Amerika Serikat, yang memakai sistem presidensial, reshuffle kabinet bukan manuver politik yang umum. Penggantian menteri harus seizin Senat. Karena itu, Presiden Amerika Serikat tak berjudi memilih politikus yang kurang kompeten mengurus bidang yang tak dikuasainya ketika membentuk kabinet di awal pemerintahan.
Rancangan Sampul Tempo Bersih-bersih Ganti Menteri
Di Indonesia, akomodasi kepentingan politik mereduksi prerogatif yang melekat pada presiden dalam sistem presidensial ketika memilih menteri. Presiden Prabowo Subianto, meski meraup suara 58 persen dalam pemilihan presiden, berasal dari partai dengan perolehan suara urutan ketiga. Akibatnya, ia harus berkoalisi menjalankan pemerintahan.
Dengan begitu, pemilihan menteri tak mementingkan kompetensi, tapi akomodasi koalisi. Para presiden sejak Gus Dur memanfaatkan mekanisme reshuffle untuk konsolidasi kekuasaan yang bisa dilakukan kapan saja. Di Inggris, tempat asal manuver politik ini, reshuffle kabinet dilakukan saat pejabat lama mundur atau meninggal.
Dalam laporan utama pekan ini terungkap bahwa para pejabat lama yang diganti bingung mengapa mereka dicopot. Pejabat baru pun tak diajak bicara lebih dulu. Konsolidasi kekuasaan Prabowo melalui reshuffle menyasar menteri bawaan dari era Presiden Joko Widodo dan pejabat yang terafiliasi dengan PDI Perjuangan.
Masalahnya, tarik-menarik kepentingan di kalangan orang dekatnya mengerucut pada pemilihan pejabat yang jauh dari ideal. Reformasi hukum dan keamanan yang menjadi tuntutan anak muda dalam demonstrasi Agustus dijawab Prabowo dengan menunjuk jenderal tentara berusia 76, Djamari Chaniago.
Bersih-bersih kabinet dalam reshuffle pun sebatas mengubah sudut wajah pemerintahan, belum memberikan substansi jawaban atas tuntutan publik yang meminta perbaikan kebijakan dan tata kelola pemerintahan. Prabowo mempertahankan makna reshuffle sebagai kocok ulang kabinet secara acak. ●