Academia.eduAcademia.edu

Outline

Cerpen ANIMA

https://doi.org/10.1234/5678

Abstract

Kembara berdiri di tepi danau, memandang bayangannya sendiri di permukaan air yang tenang. Ia merasa seperti sedang menatap jiwa yang hilang, jiwa yang telah lama dicarinya. Tiba-tiba, sosok Sigmund Freud muncul di sampingnya, merokok dengan pipanya yang khas. "Kembara, apa yang kau cari?" tanya Freud, menatapnya dengan mata tajam. "Kekasihku," jawab Kembara, tanpa ragu. Freud tersenyum sinis. "Kau mencari sesuatu yang tidak ada di luar sana. Sesuatu yang telah bersemayam dalam dirimu sendiri." Kembara terkejut. "Apa maksudmu?" "Anima," kata Freud lirih. "Sisi wanita dalam dirimu sendiri. Semua wanita yang kau cintai hanyalah pantulan dari Anima itu." Kembara merasa seperti tersengat. Ia ingat kata-kata Jung tentang anima dan animus, tentang dualitas dalam diri manusia. Ia merasa seperti sedang menatap cermin yang retak, cermin yang memantulkan bayangan dirinya sendiri. Tiba-tiba, sosok Jung muncul di samping Freud. "Kau lihat, Kembara, Anima adalah bagian dari dirimu sendiri. Kau tidak perlu mencarinya di luar sana." Kembara menggelengkan kepala. "Tapi aku merasakan sesuatu yang nyata, sesuatu yang tak tergantikan." Sartre muncul di belakang mereka, dengan senyum sinis di wajahnya. "Kau terjebak dalam eksistensialisme, Kembara. Kau menciptakan makna sendiri, tapi kau lupa bahwa makna itu tidak ada secara objektif." Kembara merasa seperti sedang tersesat di hutan belantara. Ia ingat kata-kata Gote tentang cinta dan kehilangan. "Cinta sejati adalah ketika kau mencintai diri sendiri sepenuhnya," kata Gote, yang muncul di samping Sartre. Plato muncul di belakang mereka, dengan mata yang berkilauan. "Kau lihat, Kembara, cinta sejati adalah tentang mencari keindahan yang abadi, keindahan yang tidak dapat disentuh oleh waktu." Kembara merasa seperti sedang menatap matahari yang terbit. Ia menyadari bahwa semua yang dicarinya adalah pantulan dari Anima-nya sendiri. Ia menyadari bahwa cinta sejati hanya ada dalam diri sendiri. Tiba-tiba, tiga kitab suci agama Abrahamik muncul di depannya-Taurat, Injil, dan Al-Quran. Kembara membuka halaman-halaman kitab suci itu, dan ia menemukan kata-kata yang sama, kata-kata tentang cinta dan keindahan yang abadi. Kembara tersenyum. Ia menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang mencari sesuatu di luar sana, tapi tentang mencari keindahan dalam diri sendiri. Ia menyadari bahwa Anima-nya sendiri adalah kekasih yang sejati. "Apa yang kuburu adalah kekosongan yang akan membawa rasa sakit," kata Kembara lirih. "Tapi sekarang aku tahu bahwa cinta sejati hanya ada dalam diri sendiri." Kembara menutup mata, dan ia merasakan kedamaian yang tak terhingga. Ia tahu bahwa ia telah menemukan apa yang dicarinya, Anima-nya sendiri. Ia tahu bahwa cinta sejati adalah tentang mencintai diri sendiri sepenuhnya. Dan dengan itu, Kembara lenyap dalam keheningan, meninggalkan bayangannya sendiri di permukaan danau yang tenang. Kembara berjalan di sepanjang pantai, merasakan angin laut yang membelai wajahnya. Ia merasa seperti sedang menatap keabadian, keabadian yang tidak dapat disentuh oleh waktu. Tiba-tiba, tiga wanita muncul di depannya-Lasmiaty, Wahyuningsih, dan Nurhayati. Mereka semua memiliki mata yang sama, mata yang menembus jiwa Kembara. "Kau telah meninggalkan kami," kata Lasmiaty, dengan suara yang lirih. "Kau telah meninggalkan kami tanpa penjelasan." Kembara merasa seperti sedang terjebak dalam mimpi. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia hanya tahu bahwa ia telah mencari sesuatu yang tidak ada di luar sana. "Aku mencari Anima-ku," kata Kembara, dengan suara yang lembut. "Aku mencari sisi wanita dalam diriku sendiri." Wahyuningsih tersenyum sinis. "Kau mencari sesuatu yang tidak ada. Kau mencari sesuatu yang hanya ada dalam khayalanmu." Nurhayati maju selangkah. "Tapi kami mencintaimu," kata Nurhayati, dengan suara yang penuh emosi. "Kami mencintaimu dengan tulus." Kembara merasa seperti sedang diadili. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia hanya tahu bahwa ia telah salah. "Aku minta maaf," kata Kembara, dengan suara yang lembut. "Aku tidak tahu apa yang aku cari." Lasmiaty mendekati Kembara. "Kau harus memilih," kata Lasmiaty, dengan suara yang tegas. "Kau harus memilih antara kami dan Anima-mu." Kembara merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan. Ia tidak tahu apa yang harus dipilih. Ia hanya tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Tiba-tiba, Freud muncul di samping Kembara. "Pilihanmu tidak ada di sini," kata Freud, dengan suara yang bijak. "Pilihanmu ada di dalam dirimu sendiri." Kembara merasa seperti sedang diberi petunjuk. Ia menyadari bahwa pilihanmu tidak ada di luar sana, tapi di dalam dirinya sendiri.