Claim Missing Document
Check
Articles

Khasiat Obat Nyamuk Bakar Berbahan Aktif Pyrethroid terhadap Culex quinquefasciatus pada Berbagai Kondisi Ruangan Kesetyaningsih, Tri Wulandari
Jurnal Mutiara Medika Vol 8, No 2 (2008)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Lymphatic jilariasis is an important disease caused by filarial nematodes and transmitted by mosquito bites; although the disease is not fatal, it can cause a permanent disability. One important action to prevent the infection is the use of lotion repellent, mosquito coil or electrics, etc. In practice, the use of mosquito coil in the community is done in different room conditions, such as wind speed, temperature, etc. This study was to find out the efficacy of several mosquito coils which contain pyrethroids as active agent to Aedes aegypti in the different room conditions.This was a true experimental study, consisting of four groups i.e. three treatment groups of metofuthrin, d-allethrin, transfuthrin and one group as control. Each group was treated in the following conditions: 1) In a lxlxlmi box (AC, non-AC); 2) The distance of mosquito soil and mosquito cage is 0.05 m (AC, non AC); and 3). The distance of mosquito coil and mosquito cage is 1 m (AC, non-AC). The subjects were 25 Culex quinquefasciatus mosquitoes for each group with 2 replications. The observation was carried out by counting knockdown mosquito in every 5 minute during 50 minutes of exposure. Data was analyzed using Probit Analysis to determine knockdown time 50 and 90 (Kd T50 and Kd T90).The results of this study showed that Kd T50 and Kd T90 from three kinds of mosquito coil were different depending on room condition. In a closed room, mosquito coil was more efficacious in AC than non-AC room with Kd T50 13,69 in AC room and 17,71 in non-AC room; Kd T90 25,46 in AC room and 32,28 in non-AC room. In an open room, the mosquito coil was more efficacious in non-AC than in AC room in both distance of 0,5 and 1 meter between mosquito coil and mosquito cage. In distance intervention of 0.5 m, Kd T5018,35 in AC room and 17,71 in non-AC room; Kd T90 18,38 in AC room and 19,51 in non-AC room. In distance intervention of 1 m, Kd T50 45,15 in AC room and 25,12 in nonAC; Kd T90 115,03 in AC room and 46,60 in non-AC room. Mosquito coil is not efficacious in AC room with 1-meter distance between mosquito coil and mosquito cage with Kd T50 45,15 and Kd T90 115,03. In conclusion, mosquito coil was more efficacious in non-AC than AC room. Filariasis limfatik adalah penyakit penting yang disebabkan oleh cacing filariadan ditularkan melalui gigitan nyamuk; meskipun tidak berakibat fatal, namun dapat menyebabkan kecacatan permanen. Upaya penting untuk mencegah infeksi adalah penggunaan repelen atau obat nyamuk bakar (ONB) atau elektrik, dll. Pada kenyataannya penggunaan obat nyamuk bakar di masyarakat dilakukan pada kondisi lingkungan yang berbeda, dalam hal kecepatan angin, suhu ruangan dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap khasiat beberapa obat nyamuk bakar berbahan aktif pyrethtum terhadap nyamuk Aedes aegypti pada berbagai kondisi lingkungan ruangan.Penelitian ini bersifat eksperimental mumi, terdiri atas 4 kelompok yaitu kelompok perlakuan metofluthrin, d-allethrin, transfluthrin dan kontrol negatif. Masing-masing kelompok diujikan pada kondisi: 1) Dalam kotak 1 x 1 x 1 m3 (AC, non AC); 2) Jarak antara obat nyamuk dengan sangkar nyamuk 0,05 m (AC, non AC); 3) Jarak antara obat nyamuk dengan sangkar nyamuk 1 m (AC, non AC). Subyek penelitian adalah nyamuk Culex quinquefasciatus, 25 ekor tiap kelompok penelitian, replikasi 2 kali. Pengamatan dengan menilai nyamuk knock down setiap 5 menit selama 50 menit pemaparan. Data dianalisis dengan Analisis Probit untuk menentukan Knock-down Time 50 dan 90 (Kd T 50 dan 90).Hasil penelitian menunjukkan Kd T50 maupun Kd T90 dari ketiga jenis obat nyamuk berbeda, tergantung pada kondisi ruangan. Pada ruangan tertutup, ONB lebih berkhasiat pada ruangan berAC daripada non-AC, dengan KdT50 13,69 (ber-AC) dan 17,71 (non-AC); Kd T90 25,46 (ber-AC) dan 32,28 (nonAC). Pada ruangan terbuka, ONB lebih berkhasiat pada suhu ruangan non-AC daripada ber-AC baik pada jarak antara ONB dan sangkar nyamuk 0,5 m maupun 1 m. Pada perlakuan jarak 0,5m, KdT50 18,35 (berAC) dan 17,71 (nonAC); KdT90 18,38 (berAC) dan 19,51 (nonAC). Sedangkan pada perlakuan jarak 1 m, Kd T50 45,15 (berAC) dan 25,12 (nonAC); Kd T90 115,03 (berAC) dan 46,60 (nonAC). Obat nyamuk bakar tidak berkhasiat pada ruang berAC dengan jarak ONB dan sangkar nyamuk 1 m dengan KdT50 45,15 danKdT90 115,03. Secara umum dapat disimpulkan bahwa ONB lebih berkhasiat pada suhu ruangan nonAC daripada berAC.
Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Desa dan Kota, Hubungannya dengan Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Kesetyaningsih, Tri Wulandari; Alislam, Haqiqi Mussiani; Eka, Fradita
Jurnal Mutiara Medika Vol 12, No 1 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit penting yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Kejadiannya cenderung meningkat setiap tahun dan lebih banyak di perkotaan. Perbedaan karakteristik masyarakat kota dan desa menyebabkan perbedaan perilaku terhadap program pencegahan, sehingga berdampak pada kepadatan larva yang menjadi indikator keberhasilan. Penelitian ini mengungkap hubungan pengetahuan dan perilaku masyarakat dengan kepadatan larva Aedes di kota dan desa. Penelitian bersifat noneksperimental di wilayah endemis DBD kota dan desa di DIY. Variabel bebas adalah pengetahuan dan perilaku masyarakat, variabel tergantung adalah CI (Container index) dan HI (House Index) . Observasi dilakukan terhadap kontainer terkontrol dan tidak terkontrol. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan spesies larva. Data pengetahuan dan perilaku masyarakat didapatkan dari kuesioner dan dinilai dari skor jawaban benar. Responden adalah pemilik rumah yang diperiksa. Hasil menunjukkan CI dan HI desa (20,00% dan 37,31%) > CI dan HI kota (3,62% dan 3,62%). Ada perbedaan signifikan pengetahuan (p=0,002) dan perilaku (p=0,001) antara masyarakat desa dan kota dengan pengetahuan dan perilaku masyarakat kota lebih tinggi. Ada hubungan signifikan pengetahuan (p=0.00) dan perilaku (p=0,032) dengan kepadatan larva di desa, namun tidak signifikan di kota (pengetahuan p=0,065; perilaku p=0,067). Disimpulkan pengetahuan dan perilaku pencegahan DBD masyarakat kota lebih baik daripada desa. Dengue haemorrhagic fever (DHF) is an important disease that transmitted by Aedes aegypti. Incidence rate is tend to increase yearly and even more in urban areas. Differences between towns and villages community’s character impact to different behavior to face the prevention program, so have an impact on larval density. This research would like to reveal the relationship between knowledge and behavior with density larvae, comparing it between cities and villages. Research is nonexperimentally, locate in city (Wirobrajan) and village (Dusun Pepe) in DIY province. Independent variables are knowledge dan behavior score, while dependent variable are CI and HI. Observations to containers whether controlled or uncontrolled. Knowledge and behavior obtained from the questionnaire, calculate by scoring to correct. The respondent was the owner of the house who inspected their larvae. The results show that HI and CI in village (20.00%; 37,31%) is higher than city (2.62%;2.62%). There are significant differences knowledge (p = 0.002) and behavior (p = 0.001) between two communities. There is a significant relationship between knowledge (p = 0.00), behaviors (p = 0,032) and larval density in rural, but no significance in urban (knowledge p=0,065; behavior p=0,067). It was concluded that the knowledge and behavior of prevention of urban society might better than rural.
The Increase in Nutritional Status by Fermented Milk Supplement on Elementary School Children from Fishermans Village in Bantul, Yogyakarta Province of Indonesia Kesetyaningsih, Tri Wulandari; Orbayinah, Salmah; Suryani, Lilis
Berkala Kedokteran Vol 14, No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20527/jbk.v14i1.4538

Abstract

Abstract: Probiotics drinks, containing Lactobacillus, were rapidly developed because of its benefit to the health. The bacteria reduced the pathogenic microorganism growth such as virus, fungi, and protozoa. The nutritional status is influenced by food intake, immunity and infection. The children of fisherman’s village are included in the insecure nutrition group because of the low social economic status and healthy living behavior. The aim of this research was to know the influence of daily consumption of probiotics in fermented milk to the nutrition status in elementary school children. This research is quasi-experimental with pretest-posttest control group design. Subjects of 95 elementary school children were divided into 2 groups: 62 children as treatment group and 33 children as control group. Determination of nutritional status is based on anthropometry according to CDC 2000 (BMI-age) growth-chart; and the biochemistry parameter consist of the level of serum total protein, albumin, blood urea nitrogen (BUN), urine creatinine and hemoglobin. Determination of serum total protein and BUN were carried out by Microkjeldahl method, hemoglobine by cyanmet hemoglobin method, albumin by dye-binding method, and creatinine level by Jaffe reaction method. The infection status was determined by anamnesis and laboratory examination of feces which was conducted to find the parasite in the stool. Of sixty five ml fermented milk, that contains of 6.5 x 109 Lactobacillus shirota strain, was consumed every day in 37 days. The data was analyzed by Wilcoxon test for nonparametric data and paired T-test for parametric data.  The result shows that after the treatment, it increased the nutritional status athropometrically from underweight to normal (12.9%) and overweight to normal (3.23%). In biochemically, it increased the total protein level from 6,111 to 6,705 mg/dL (p=0,001) and decreased the BUN from 42,709 to 41,127 mg/dL (p=0,004) significantly eventhough it was in normal range. The conclusion is that consuming fermented milk for 37 days in children is proven to enhance the nutritional status both by anthropometric and biochemistry parameter. Keywords: probiotic, nutritional status, Lactobacillus, fermented milk supplement
Distribusi Prevalensi Malaria di Puskesmas Kokap I dan Girimulyo I Kabuapten Kulonprogo Tahun 2002-2004 dan Hubungannya dengan Faktor-faktor Risiko Wiraharjanegara, Harjuna Atma; Kesetyaningsih, Tri Wulandari
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 2 (s) (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prevalence of malaria in Indonesia is still high, particularly in the areas of Java and Bali. In Java, the health priority areas are endemic areas including mountain areas incise Kulonprogo district. This research aims to reveal the presence of risk factors associated with the incidence of malaria in the area. This is a non-experimental research by reviewing the medical records of patients with malaria in Primary Health Care in Kokap I and Girimulyo I in 2002-2004. Significance of the relationship between risk factors with the prevalence of malaria were analyzed by Chi-Square. The result show that malaria prevalence in Kokap I in 2002-2004 are 37,43%; 2,174%; 0,246% respectively and in Girimulyo I are 3,632%; 0,183%; 0,013% respectively. Chi-squares analyze show that there is significant correlation (p<0,05) between age group, gender and the occupation and the prevalence of malaria. There is unsignificant correlation between education level and the prevalence of malaria (p>0,05) in Kokap and Girimulyo.Prevalensi malaria di Indonesia sampai saat ini masih tinggi, terutama di daerah Jawa dan Bali. Di daerah Jawa yang menjadi prioritas kesehatan adalah daerah endemik termasuk wilayah pegunungan menoreh Kabupaten Kulonprogo. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap adanya faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian malaria di daerah tersebut. Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan menelaah data rekam medik penderita malaria di Kokap I dan Girimulyo I tahun 2002-2004. Signifikansi hubungan antara faktor risiko dengan prevalensi malaria dianalisis dengan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi malaria di Kokap I berturut-turut dari tahun 2002-2004 adalah 37,43%; 2,174%; 0,246% dan di Girimulyo I, berturut-turut adalah 3,632%; 0,183%; 0,013%. Analisis Chi-Square menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p<0,05) antara umur, jenis kelamin, dan jenis pekerjaan dengan prevalensi malaria. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan prevalensi malaria (P>0,05).
EFEK PENAMBAHAN EKSTRAK ECHINACEAPADA INFEKSI PLASMODIUM BERGHEI Kesetyaningsih, Tri Wulandari; Sundari, Sri
Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol 27, No 3 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (526.24 KB) | DOI: 10.21776/ub.jkb.2013.027.03.4

Abstract

Selain protektif ,  respon imun  terhadap malaria dapat memicu imunopatologi malaria. Echinacea purpurea  merupakan agen  yang  berkhasiat  meningkatkan  imunitas  melalui  fagositosis,  stimulasi  sel-sel  fibroblas,  aktivasi  respirasi  dan mobilitas leuk osit. Penelitian ini  bertujuan membuktikan efek pemberian Echinacea  pada pengobatan malaria ssecara in vivo.  Rancangan penelitian adalah pre dan  postest control  group dengan hewan coba Mus musculus strain  DDI jantan, umur 5 minggu, berat 20-25 gram sebanyak 24 ekor dibagi menjadi 5 kelompok yaitu   K- (tanpa diobati); K+ (klorokuin 10mg/kg  BB);  P1  (0,65  mg  ekstrak/ekor);  P2  (1,3  mg  ekstrak/ekor);  P3  (k ombinasi  klorokuin-ekstrak).  Parasitemia diperiksa  setiap  hari selama  5 hari setelah 24 jam  infeksi,  pemeriksaan  histologis dilakukan pada hari ke lima.  ANOVA dan Kruskall-Wallis digunakan masing-masing untuk uji perbedaan parasitemia dan gambaran histologis. Hasil menunjukkan ada  perbedaan  bermakna  penurunan  parasitemia  antar  kelompok  penelitian  (p=0,023).  Penurunan  parasitemia kelompok Echinacea bersifat lambat seperti akibat reaksi imunitas tubuh, sedangkan pada klorokuin terjadi lebih cepat. T erjadi  peningkatan  aktivitas  lien  pada  kelompok  Echinacea  dan  tidak  ada  perbedaan  gambaran  histologis  otak  antar kelompok  penelitian.  Dapat  disimpulkan  bahwa  Echinacea  memperlambat  penurunan  parasitemia  dan  memperbaiki aktivitas  lien.
Studi Prevalensi Mikrofilaremia dan Faktor Risiko Sosial Ekonomi di Kelurahan Puluhan dan Gempol, Kabupaten Klaten Kurniawan, Agung; Kesetyaningsih, Tri Wulandari
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 1 (s) (2008): April
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i1 (s).1646

Abstract

Lymphatic filariasis is one of the diseases that cause disability which difficult to detect early. One of the filariasis controls is to screen the people who are risk in a possible endemic area to do the early diagnose and early treatment. In the beginning of2007, Klaten had been reported to have 4 filariasis patients and of them is lives in Puluhan village, Jatinom Subdistrict. A prevalence epidemiological survey and a social economic risk factors survey must be done at the people around the patient for filariasis elimination program.The aim of this study is to describe the prevalence and the social economic risk factors of the people who live in Puluhan and Gempol village. A cross-sectional research was done in August 2007 on both Puluhan ’s and Gempol ’s villagers at night (20.00-22.00 am) then identify the microfilaria with thick blood sample method. The social economic risk factor is measured from education, occupation, and salary level. There was 223 subject whose the periphery blood was taken (age mean = 42,3 year; 61,83% are women) and the result of Mf-rate was 0. It is mean that there was no filariasis spreading in this area. The social economic factors show that the people of Puluhan and Gempol village have the education factor of non-school person (50%), the occupation factor of unemployed person (29%) and laborer (26,9%), and salary factor of less than Rp. 600.000,- a month (93%)Penyakit limfatik filariasis adalah salah satu penyakit penyebab kecacatan yang sukar untuk dideteksi awal. Salah satu cara pencegahannya adalah dengan survei penduduk yang berisiko di daerah dengan kemungkinan endemis dengan harapan supaya dapat dilakukan deteksi serta pengobatan awal. Pada awal tahun 2007 ini di Klaten dilaporkan terdapat 4 penderita filariasis dan salah satunya adalah penduduk di Kelurahan Puluhan, Kecamatan Jatinom. Dalam rangka pemberantasan penyakit filariasis, dilakukan survei epidemiologi prevalensi mikrofilaremia serta faktor risiko sosial ekonomi pada penduduk di sekitar penderita.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi mikrofilaremia di kelurahan Puluhan dan Gempol beserta faktor sosial ekonomi. Penelitian dengan desain diskriptif cross sectional dilakukan di bulan Agutus 2007 dengan pengambilan sampel pada pukul 20.00-22.00 WIB pada penduduk di Pedukuhan Jemusan, Brajan, dan Karanggeneng yang terletak di Kelurahan Puluhan dan Gempol. Sampel darah kemudian periksa dengan metode darah tebal untuk melihat adanya mikrofilaremia. Faktor sosial ekonomi dinilai dari tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta tingkat penghasilan. Subyek yang terkumpul sebanyak 223 subyek (rata-rata umur 42,3 tahun (14-83 tahun) serta proporsi penduduk wanita adalah 61,83%) diambil darah tepinya dengan hasil Mf-rate = 0. Hal ini menunjukkan tidak adanya penularan limfatik filariasis di daerah tersebut. Faktor sosial ekonomi tergolong rendah: 29% tidak bekerja; 26,9% buruh, 50% tidak sekolah dan 93% penduduknya berpendapatan kurang dari Rp 600.000 perbulan.
Perbandingan Efikasi Obat Nyamuk Bakar dengan Zat Aktif Metofluthrin dan D-D-Allethrin terhadap Culex quinquefasciatus Hodijah, -; Kesetyaningsih, Tri Wulandari
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 14, No 2 (2014)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v14i2.9383

Abstract

Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk masih banyak di Indonesia, termasuk filariasis dan encephalitis yang ditularkan oleh Culex quinquefasciatus. Upaya pencegahan infeksi dari penyakit tersebut di masyarakat antara lain dengan menggunakan obat nyamuk bakar. Kandungan bahan aktif obat nyamuk bakar umumnya adalah kelompok piretroid sintetik antara lain metofluthrin dan d-allethrin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas obat nyamuk bakar berbahan aktif metofluthrin dan d-allethrin dengan parameter LT50 dan LT90. Subyek penelitian nyamuk Culex quinquefasciatus diperoleh dari alam. Metode penelitian adalah eksperimental laboratorium. Nyamuk dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok dengan pemaparan obat nyamuk bakar metofluthrin (perlakuan 1), kelompok dengan pemaparan obat nyamuk bakar d-allethrin (perlakuan 2) dan kelompok tanpa pemaparan (kontrol) dengan replikasi sebanyak 3 kali. Hasil pengamatan berupa persentase rata-rata nyamuk uji yang jatuh dianalisis probit berdasarkan jumlah knockdown nyamuk pada tiap 5 menit selama 50 menit pemaparan. Hasil analisis menunjukkan LT50 selama 20 menit (metofluthrin) dan 17 menit (d-allethrin) serta LT 90 selama 37 menit (metofluthrin) dan 31 menit (d-allethrin). Obat nyamuk bakar dengan zat aktif d-d-allethrin pada penelitian ini menunjukkan LT50 dan LT 90 yang lebih singkat dibandingkan metofluthrin.
Perbandingan Efektivitas Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) terhadap Larva Aedes aegypti Laboratorium dan Daerah Endemik Demam Berdarah di Yogyakarta Susanti, Trisna Dwi; Kesetyaningsih, Tri Wulandari
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 7, No 1 (s) (2007)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v7i1 (s).1684

Abstract

Until now control the vector mosquito of dengue high fever (DHF) are still using the insecticide chemistry because it is considered the most effective and inexpensive. Because of the possibility of resistance to insecticides and pollution of the environment, it is important to consider control measures alternative to more environmentally friendly. Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) has high pathogenicity against mosquito larvae, so the potential to create a handler with experience. Larvae of mosquitoes in endemic areas is estimated to have been affected by the Bti in nature. The research objective was to compare the effectiveness of Bti against larvae of Aedes aegypti in the laboratory and from areas endemic dengue This study is the experimental laboratory, using larval Ae. aegypti laboratory and endemic areas of dengue fever as the subject. Treatment was given by exposing the subject by the Bti in a variety concentration. The study consists of 13 groups, 12 groups contain a series of concentrations of Bti and the control group without insecticides. Each group consisted of 25 larvae 3rd stage included in the glass of200 ml of media with a series of concentrations of 0.4; 0.6, 0.8, 1, 2, 4, 6, 8, 10 and 20 ppm. Observations were made after 24 hours of exposure by counting the number of dead larvae in each cup. Data were analyzed using Probitt to determine LD50 andLD90 and paired T-test to determine the significance of differences between study groups. The results showed that Bti can kill the larvae of Aedes aegypti with LD50 1.732 ppm and 21.876 ppm LD90 for laboratory larvae, and 4.769 ppm LD50 and LD90 68.229 ppm for larvae from endemic area. Analysis of paired T-test showed p = 0.038, which means there is a significant difference in mortality between the laboratory with endemic areas of larvae after exposure for 24 hours of Bti.Sampai saat ini pengendalian nyamuk vektor demam berdarah dengue (DBD) masih menggunakan insektisida kimiawi karena dianggap paling efektif dan murah. Adanya kemungkinan resistensi terhadap insektisida kimia dan polusi lingkungan, perlu dipertimbangkan cara pengendalian alternatifyang lebih ramah lingkungan. Bacillus thuringiensis israelensis (Bti) mempunyai patogenitas tinggi terhadap jentik nyamuk sehingga berpotensi sebagai bahan pengendali alami. Larva nyamuk di daerah endemik diperkirakan sudah terpapar dengan Bti di alam. Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan efektifitas Bti terhadap larva Aedes aegypti laboratorium dan dari daerah endemik DBD. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, menggunakan larva Ae. aegypti laboratorium dan daerah endemik DBD sebagai subyek. Perlakuan berupa pemaparan subyek dengan bioinsektisida berbagai konsentrasi Bti. Penelitian terdiri atas 13 kelompok, 12 kelompok berisi rangkaian konsentrasi Bti dan satu kelompok kontrol tanpa insektisida. Tiap kelompok terdiri atas 25 ekor L3 yang dimasukkan dalam gelas berisi 200 ml media dengan rangkaian konsentrasi berturut-turut 0,4; 0,6; 0,8; 1, 2, 4, 6, 8, 10 dan 20 ppm. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam pemaparan dengan menghitung jumlah kematian larva pada tiap-tiap gelas. Data dianalisis menggunakan uji statistik Probitt untuk menentukan LD50 dan LD90 dan paired T-test untuk mengetahui signifikansi perbedaan antar kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bti mampu membunuh larva Aedes aegypti dengan LD50 1,732 ppm dan LD90 21,876 ppm untuk larva laboratorium, dan LD50 4,769 ppm dan LD90 68,229 ppm untuk larva daerah andemik. Analisis paired T-test menunjukkan p=0,038, berarti ada perbedaan signifikan angka kematian antara larva laboratorium dengan larva daerah endemik setelah pemaparan dengan Bti selama 24 jam.
Efektifitas Bacillus Thuringiensis Terhadap Larva Culex Quinquefasciatus Pada Berbagai Media Hidup Larva Kesetyaningsih, Tri Wulandari; Suryani, Lilis
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 6, No 1 (2006)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v6i1.1882

Abstract

One of mosquito that transmitted this disease is Culex quinquefasciatus. Insecticide commonly use for vector control because it can reduce mosquito population easily and rapidly, but have a high risk to pollution and resistancy. Bacillus thuringiensis (Bti) is bacteria that produce toxic crystal to larvae of Coleoptera, Diptera and Lepidoptera. The purpose of this study is to know the efficacy of Bti as larvicide to Cx. quinquefasciatus (L3) that live in media biologic water, rice field water and cesspool water and compare the larvae ’s death among those groups.Subject of this study is Bti (strain H-14) Vectobac 12 US in liquidformula from Abott, USA, then examined its effectivity as larvicide to Cx quinquefasciatus. Twenty larvaes (L3) entered into every group that filled 100 ml of 1,2,3,4,5, and 6 ppm Bti solution and negative group. Observation was carried out after 24 hours exposure to get % of larvae s death. Larvae s death was decided if there is no movement by stick touched. Probit analysis used to decide LD50 and LD 95 and One way anova used to know the significancy difference of% larvae s death among research groups.The result shows that Bti is effective to Cx. quinquefasciatus larvae with LD50 1,43 ppm in aquades group, 2,28 ppm in field water group and 4,56 ppm in cesspool water group. There is no significant difference of% larvae ’s death among research groups.Salah satu nyamuk vektor filariasis adalah Culex quinquefasciatus. Pengendalian vektor dengan insektisida digunakan karena dapat menurunkan populasi nyamuk secara cepat, mudah dan dalam jumlah banyak, namun dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan beresiko terjadi resistensi. Bacillus thuringiensis (Bti) adalah bakteri pembentuk spora menghasilkan kristal toksik terhadap larva Coleoptera, Diptera dan Lepidoptera. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas Bti terhadap larva Cx quinquefasciatus (L3) pada tiga macam media hidup larva yaitu comberan, air sawah dan akuades serta membandingkan diantara ketiganya.Subyek penelitian adalah Bti (strain H-14) Vectobac 12 AS formula cair dari Abott, diuj i efektifitasnya sebagai larvisida Cx quinquefasciatus yang hidup pada media air biologis comberan, air sawah dan akuades. Tiap kelompok terdiri atas enam konsentrasi Bti (1,2,3,4,5 dan 6 ppm) dan kontrol negatif (tanpa Bti) yang dilarutkan dalam 100 ml air media hidup larva dan diisi 200Korespondensi: Tri Wulandari K, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jin. Lingkar Barat Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakartaekor L3 Cx. quinquefasciatus. Pengamatan dilakukan 24 setelah pemaparan dengan menghitung prosentase kematian larva. Larva dinyatakan mati bila sama sekali tidak bergerak setelah diusik dengan ujung pipet larva. Analisis Probit digunakan untuk menentukan LD50 dan LD95 dan analisa varians digunakan untuk menentukan signifikansi perbedaan prosen kematian diantara ketiga kelompok perlakuan.Hasil penelitian menunjukkan Bti efektif sebagai larvisida Cx. quinquefasciatus dengan LD50 1,43 ppm pada akuades, 2,28 ppm .pada air sawah dan 4,56 ppm pada comberan sebagai media hidup larva. Tidak ada perbedaan bermakna diantara ketiga media hidup larva yang diujikan.
Efikasi Ekstrak Daun Srikaya (Annona squamosa) terhadap Kutu Beras (Tenebrio molitor) Kesetyaningsih, Tri Wulandari; Puspadhica, Widha; wirdasari, -
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 2 (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v9i2.1601

Abstract

Leaf extract of Annona squamosa potentially to be a botanical insecticide that more save to the environment. The aim of this research is to know the efficacy of leaf extract of A. squamosa to the adult and larvae of T. molitor. This research is pure experimentally using posttest only control group design. The research is devided in two parts, adult and larvae examination. Each of part consist of 9 groups, there are 7 treatment groups of 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, 0,1% leaf extract, 1 of positive control group (K+) with malathion 0,5% (adult); 5% (larvae) and 1 of negative control (K-) with aquadest. The data compute to determine the mortality rate (%) and then analyzed by one way anova and probitt to know the significancy of difference and to determine the value of LD50 (lethal dose 50) dan LT50 (lethal time 50). The result of the examination to the adult T. molitor show that 5%, 10%, 25%, 50%, 75% dan 100% of leaf extract A. squamosa are more effective than K- group, but less effective than K+. In 0,1% concentration there is not effective. The examination to the larvae stage show that 25% leaf extract most effective among the leaf extract series groups, and not significantly different with K+. All of the leaf extract series groups are significantly different with K-. The value of LD50 is 0,51%; LT50is 8,10 hours in adult andLD00 2,26%; LT5016,10 hours in larvae. The conclution is the leaf extract of A. squamosa is more effective against adult stage of T. molitor than larvae stage. In adult stage, the effectivity of leaf extract preference that high concentration is more effective. But in larvae stage, the most effective concentration is 25% of leaf extract.Daun Annona squamosa berpotensi sebagai insektisida botani, bersifat lebih ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap efikasi insektisida ekstrak daun A. squamosa terhadap dewasa dan larva T. molitor. Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni untuk mengetahui efikasi insektisida ekstrak daun A. squamosa terhadap dewasa dan larva T. molitor. Desain penelitian adalah posttest only control group design. Penelitian terdiri atas 9 kelompok yaitu kelompok perlakuan berdasarkan konsentrasi bahan uji 100%, 75%, 50%, 25%, 10%, 5%, 0,1%, kontrol positif (K+) dengan malathion 0,5% (dewasa); 5% (larva) dan kontrol negatif (K-) dengan akuades. Dihitung angka kematian yaitu % kematian subyek penelitian: jumlah subyek mati/ jumlah subyek tiap kelompok x 100%, hasilnya dianalisis statistik dengan anova satu jalur dan probit untuk mengetahui LD50 (lethaldose 50) dan LT50 (lethal time 50). Hasil uji terhadap stadium dewasa T. molitor menunjukkan bahwa ekstrak daun 5%, 10%, 25%, 50%, 75% dan 100% A. squamosa terbukti efektifjika dibandingkan dengan dengan K-, namun kurang efektifjika dibandingkan dengan K+. Konsentrasi 0,1% tidak efektif dibandingkan dengan kelompok K-. Uji terhadap larva menunjukkan bahwa ekstrak daun 25% tampak paling efektif, tidak berbeda signifikan dengan kontrol positif. Semua konsentrasi ekstrak daun srikaya berbeda signifikan dibandingkan dengan K-. Nilai LD50 adalah 0,51%; LT50 adalah 8,10 jam untuk dewasa dan LD50 2,26% dan LT50 16,10 jam untuk larva. Kesimpulannya adalah ekstrak daun srikaya terbukti lebih efektif terhadap stadium dewasa T. molitor daripada terhadap larva. Efektifitas terhadap stadium dewasa menunjukkan kecenderungan lebih tinggi konsentrasi, lebih efektif, namun pola ini tidak terjadi pada uji terhadap larva. Konsentrasi paling efektif membunuh larva adalah 25%.
Co-Authors Adibah Zahra Agung Kurniawan Ambar Relawati Ambar Relawati Amir, Siti Fajrini Ana Majdawati Anindita, Rizki Ardiyanti, Devi Astuti, Yoni Bobby Fahmi Muldan Pahlevi Chapsoh, Zannuba Aisyah Desto Arisandi Desty, Yeni Rahma Devi, Rizky Revinda Dimas Pradana Putra Edison, Firnandito El Falah, Muhammad Miftah Fadli, Hanif Fahrudin, Rafif Eka Farindira Vesti Rahmasari Farindira Vesti Rahmasari Farizki Muhammad Muhammad Fradita Eka Fradita Eka, Fradita Galih, Intan Kusuma Ayu Setyaning Gina Puspita Haqiqi Mussiani Alislam Haqiqi Mussiani Alislam, Haqiqi Mussiani Herlambang, Akbar Adji Hernanda, Mohammad Fatha Hodijah, - I Ketut Swarjana Jauharah, Tiffany Kanti Ratnaningrum Kusbaryanto Larasati, Aulia Nadhila Lestari, Febri Lilis Suryani Lilis Suryani Lilis Suryani Ludovica Prastiani Muttaqin, Moh. Zaenal Nadirrafi, Muhammad Afif Naufal, Muhammad Rikza Niandy, Zakariya Ahmad Noor, Zulkhah Perdana, Maulivia Trisma Pitaka, Ririd Tri Pratama, Naufal Aldian Prima Widayani Primadani, Ericha Tyas Puspadhica, Widha Putra, Mahendrata Adwitya Putri, Gesika Gemintang R. Sapto Hendri Boedi Soesatyo Ririd Tri Pitaka Riswari, Rizki Ardana Rizka Fauziah Rizki Ardana Riswari Romadhoni, Muhammad Ilham Salmah Orbayinah Sari, Liana Permata Setyonugroho, Winny Siti Fajrini Amir SN Nurul Makiyah Sri Nabawiyati Nurul Makiyah Sundari, Sri Suryanto Susanti, Trisna Dwi Taufik Fitriyanto Nugroho, Taufik Fitriyanto Tri Pitara Mahanggoro Trisna Dwi Susanti Widowati, Karina Putri Willynia, Anggita Nur Cahya Wiraharjanegara, Harjuna Atma Wiraharjanegara, Harjuna Atma wirdasari, - Yeni Rahma Desty Yusiriwayatul Afsoh Zamzam, Putra Alifa