Articles
Formulasi Hukum Pidana dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan
Baitu, Minarni;
Haris, Oheo K.;
Handrawan, Handrawan
Halu Oleo Legal Research Vol 2, No 3 (2020): Halu Oleo Legal Research: Volume 2 Issue 3
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v2i3.14380
Penelitian ini ditujukan untuk menemukan solusi yang terbaik formulasi hukum pidana terhadap sengketa tanah bagi para pihak. Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan yang diajukan, dilakukan penelitian yang berbentuk yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual serta pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkenaan dengan hal ini, substansi ketentuan sanksi pidana perundang-undangan di luar kodifikasi hukum pidana kurang diterapkan dalam penyelesaian konflik pertanahan. Faktor-faktor yang berpengaruh dominan terhadap kurangnya penerapan sanksi tersebut, meliputi: faktor substansi hukum, faktor aparat pelaksana, dan faktor kesadaran hukum masyarakat. Kurangnya penerapan sanksi pemidanaan perundang-undangan di luar kodifikasi hukum pidana dalam penyelesaian konflik pertanahan sangat berpengaruh terhadap perlindungan hukum pemilik hak atas tanah dan masyarakat pada umumnya. Mengantisipasi potensi kriminal konflik pertanahan di luar kodifikasi hukum pidana yang sudah tidak relevan dengan ketentuan perundang-undangan yang ada diperlukan adanya kebijakan perundang-undangan yang baru yang sesuai dengan perkembangan.
Mediasi Penal Sebagai Bentuk Penanganan Perkara Anak
Fitrayadi, Fitrayadi;
Haris, Oheo K.;
Handrawan, Handrawan
Halu Oleo Legal Research Vol 2, No 3 (2020): Halu Oleo Legal Research: Volume 2 Issue 3
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v2i3.15435
Penelitian ini ditujukan untuk menyelesaikan perkara pidana anak melalui mediasi penal sebagai bentuk diversi (pengalihan) dalam penyelesaian perkara pidana anak di Indonesia, dapat terlihat dari ide dan prinsip kerja mediasi penal, yang sangat sesuai dengan tujuan diversi (pengalihan) perkara anak dari proses peradilan pidana. Kedua, mediasi penal sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana pidana anak, sejalan dengan pendekatan menggunakan keadilan restoratif. Restorative justice yang berupaya menggeser paradigma selama ini bahwa penyelesaian perkara pidana harus dengan pemidanaan, sesuai dengan ide dan prinsip kerja mediasi penal yang lebih mengutamakan musyawarah. Ketiga; proses penyelesaian sengketa dengan cara mediasi, baik yang dilaksanakan di dalam sistem peradilan pidana maupun di luar pengadilan, yaitu adanya kesepakatan atau perjanjian perdamaian yang sama-sama memiliki nilai pembuktian dan mengikat bagi para pihak. Namun, keduanya belum memiliki kekuatan hukum yang pasti sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kesepakatan perdamaian hasil dari mediasi di dalam pengadilan dapat langsung ditingkatkan statusnya menjadi akta perdamaian melalui majelis hakim pemeriksa perkara pada saat persidangan dan diputus menjadi putusan pengadilan. Sedangkan, perjanjian atau kesepakatan perdamaian hasil mediasi di luar pengadilan, baru memperoleh kedudukan sebagai akta perdamaian setelah para pihak dengan bantuan mediator mengajukan gugatan perdamaian melalui Pengadilan Negeri, vide. Pasal 36 PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Sehingga, akta perdamaian dimaksud memiliki kepastian hukum dan berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde).
Sanksi Pidana Terhadap Perbuatan Menggunakan Hak Pilih Orang Lain dalam Undang-Undang Pemilu dan Pemilukada
Sartono, Sartono;
Hidayat, Sabrina;
Haris, Oheo K.
Halu Oleo Legal Research Vol 3, No 1 (2021): Halu Oleo Legal Research: Volume 3 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v3i1.17939
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan berat sanksi dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemilukada terhadap perbuatan menggunakan hak pilih orang lain dan kebijakan hukum pidana dalam Undang-Undang Pemilu terkait perbuatan menyuruh seseorang menggunakan hak pilih orang lain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Ketentuan tindak pidana dalam Undang-Undang Pilkada tentang sanksi pidana terhadap penggunaan hak pilih orang lain telah diatur maksimal-minimal baik pidana penjara maupun pidana denda hal ini berbeda dengan pengaturan sanksi pidana penggunaan hak pilih orang lain dalam Undang-Undang Pemilu hanya mengatur sanksi pidana maksimal baik sanksi pidana penjara maupun sanksi pidana denda itu pun relatif lebih ringan jika dibanding Undang-Undang Pilkada dan (2) Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Pemilu terkait Perbuatan menyuruh seseorang menggunakan hak pilih orang lain yaitu tidak terdapat pengaturan terkait tindak pidana pemilu yang mengatur tentang perbuatan menyuruh orang yang tidak berhak memilih untuk memilih menggunakan hak pilih orang lain, sehingga membuka ruang bagi peserta pemilu untuk melakukan perbuatan tersebut namun tidak dapat dilakukan proses hukum apalagi dikenai sanksi pidana pemilu karena tindak pidana pemilu hanya dapat menjangkau terhadap seseorang yang menggunakan hak pilih orang lain. Akibat adanya kekosongan hukum yang mengatur tentang perbuatan orang yang menyuruh menggunakan hak pilih orang lain tersebut, dapat memberikan ruang kepada peserta pemilu maupun pihak lain untuk menyuruh seseorang menggunakan hak pilih orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun agar terjadi Pemungutan Suara Ulang.
Ratio Decidendi Terhadap Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor: 454/Pid.B/2010/Pn.Kdi)
Liwati, Alsabda;
Hidayat, Sabrina;
Haris, Oheo K.
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 2 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 2
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i2.6790
Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan pada Putusan Nomor: 454/Pid.B/2010/PN.Kdi. 2) Untuk mengetahui dan menganalisis, ratio decidendi hakim dalam menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa pada Putusan Nomor: 454/Pid.B/2010/PN.Kdi).Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Pembuktian oleh jaksa bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum karena meminta sejumlah uang dalam kegiatan penyerahan sertifikat setelah kegiatan terlaksana merupakan sebuah kekeliruan karena sesuai dengan perjanjian kerja sama oleh pihak UNHALU dan LPMP yang salah satu poinnya mengenai DIPA pada kenyataannya tidak masuk dalam anggaran untuk penyerahan ijazah yang dilaksanakan di gedung Grand Awani serta biaya legalisasi ijazah dll. Sehingga perbuatan terdakwa mengumumkan pembayaran sejumlah uang untuk kegiatan penyerahan sertifikat dan lain sebagainya bukan merupakan sebuah perbuatan yang melanggar karena belum diatur dalam PP No: 74 tahun 2008 tentang Guru, untuk itu dakwaan jaksa tidak dapat dibuktikan. 2) Majelis hakim memberikan vonis bebas terhadap terdakwa dari segala dakwaan jaksa seperti disebutkan dalam amar putusannya majelis hakim yang menyatakan: Menyatakan terdakwa Nana Sumarna ,S.Pd. M.Kes. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah Melakukan tindak pidana dalam dakwaan Primer, Subsider dan Lebih Subsider; dan Membebaskan terdakwa Nana Sumarna, S.Pd. M.Kes. oleh karena itu dari dakwaan-dakwaan tersebut (Vrijspraak); serta Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; disebabkan jaksa tidak dapat menghadirkan bukti maupun keterangan yang dapat meyakinkan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Analisis Hukum Pertanggungjawaban Pidana Apoteker dalam Malapraktik Kefarmasian
Arif, Ahmad;
Herman, Herman;
Haris, Oheo K.
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 2 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 2
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i2.7529
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana apoteker dalam malapraktik kefarmasian. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban malapraktik apoteker.Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research). Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach). Dalam penelitian ini, sumber bahan hukum yang dipergunakan bersumber dari 2 (dua) sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Penelitian ini menunjukkan bahwa: 1. pertanggungjawaban pidana, seorang apoteker harus jelas terlebih dahulu dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana (malapraktik). Pertanggungjawaban pidana kepada apoteker itu diminta atau tidak, adalah persoalan kedua, tergantung kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak untuk menuntut pertanggungjawaban pidana tersebut. Seorang apoteker dianggap mampu bertanggung jawab apabila apoteker tersebut menyadari akan tindakan yang sebenarnya dilakukannya dan akibat dari hasil perbuatannya tersebut. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pharmacists malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana, yaitu perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kecerobohan atau kealpaan/kelalaian. 2.Perlindungan hukum terhadap korban malapraktik apoteker secara teoritis dapat dilakukan dengan cara non-yuridis dan yuridis dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan. Perlindungan terhadap korban kejahatan diberikan tergantung pada jenis penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, seperti teori utilitas, teori tanggung jawab dan teori ganti rugi.
Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Terorisme
Saputra, Rusnadi Dwi;
Herman, Herman;
Haris, Oheo K.
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 3 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 3
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i3.10197
Pemberian Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Perspektif Hak-hak Narapidana serta ratio legis Terhadap Pembatasan Pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana Tindak Pidana Terorisme. Dalam tesis penulis memfokuskan Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Perspektif Hak-hak Narapidana bahwa Pembebasan bersyarat merupakan hak asasi manusia yang kemudian hak asasi tersebut dituangkan dalam produk hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dimana dinyatakan bahwa salah satu Hak bagi narapidana teroris adalah memperoleh pembebasan bersyarat. Pemenuhan hak narapidana pelaku tindak pidana terorisme untuk memperoleh pembebasan bersyarat, sesuai dengan konsep keadilan restoratif atau restorative justice yang mengedepankan adanya pemulihan hak terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Sedangkan Ratio Legis Pemberian Bersyarat Bagi Narapidana Terorisme, didasarkan pada prinsip pemberian hak dan tanggung jawab pemerintah bahwa Pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sebagai sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat. Terkait dengan kejahatan terorisme maka proses pemidanaan terhadap pelaku untuk menjaga stabilitas keamanan negara. Selain itu, Program deradikalisasi sebagai upaya pemerintah untuk mereduksi kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi masyarakat yang terlibat tindak pidana terorisme program ini dilakukan sebagai upaya dalam pembebasan bersyarat bagi narapidana terorisme.
Pembuktian Perkara Pidana Berdasarkan Hasil Tes DNA (Deoxyribo Nucleis Acid)
Patanra, Adi Rais;
Herman, Herman;
Haris, Oheo K.
Halu Oleo Legal Research Vol 2, No 3 (2020): Halu Oleo Legal Research: Volume 2 Issue 3
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v2i3.15333
Penelitian ini untuk menganalisis kedudukan hasil tes DNA dalam pembuktian perkara pidana, serta menemukan penerapan konkret alat bukti hasil tes DNA dalam perkara pidana. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif empiris. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menentukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan hasil tes DNA dalam pembuktian perkara pidana di Indonesia yaitu berdasarkan Pasal 184 KUHAP dapat berperan sebagai alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Hasil pemeriksaan DNA sebagai alat bukti dalam pengungkapan kasus-kasus pidana dapat digunakan pada tingkat penyidikan yang disertai dengan sumpah kemudian dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan ahli. Alat bukti tersebut akan menjadi alat bukti surat jika oleh Jaksa Penuntut Umum hanya menyajikannya di persidangan tanpa disertai dengan pemaparan oleh ahli forensik DNA di depan persidangan. Penerapan konkret alat bukti hasil tes DNA dalam perkara pidana dengan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 233/Pid.B/2019/Pn Kdi, yaitu hasil pemeriksaan DNA atas terduga pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak dijadikan sebagai alat bukti tunggal oleh majelis hakim pengadilan, dan tidak juga diberlakukan hasil pemeriksaan DNA dalam penggolongannya sebagai alat bukti keterangan ahli untuk menjadi sumber petunjuk oleh majelis hakim pengadilan dalam mempertimbangkan dapatnya pelaku dibebani pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku tindak pidana pelecehan seksual (pencabulan) terhadap anak.
Ratio Decidendi Terhadap Putusan Perampasan Aset Oleh Negara Dalam Perkara First Travel (Studi Putusan Nomor: 3096 K/Pid.Sus/2018)
Boki, Umar;
Haris, Oheo K.;
Handrawan, Handrawan
Halu Oleo Legal Research Vol 2, No 3 (2020): Halu Oleo Legal Research: Volume 2 Issue 3
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v2i3.15481
Penelitian ini memfokuskan analisis putusan Hakim pada perkara First Travel Putusan Nomor: 3096/K/Pid.Sus/2018, memperlihatkan bahwa tidak dilaksanakannya terobosan hukum oleh Hakim. Pada tingkat kasasi, pertimbangannya hakim menyebutkan bahwa alasan kasasi para Terdakwa tidak dapat dibenarkan karena perkara in casu. Studi ini menggunakan penelitian hukum yang menerapkan undang-undang, teori, dan kasus. Penelitian ini menemukan bahwa penafsiran asas manfaat dalam Putusan MA dikaitkan dengan asset recovery korban tindak pidana pencucian uang yang disita untuk negara tidak tepat, karena telah melanggar hukum formal maupun materiil. Sedangkan Putusan perampasan aset First Travel dan Kesesuaiannya Dengan Pasal 46 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Bahwa telah terjadi kesalahan dalam putusan Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan menolak permohonan kasasi dan menguatkan putusan sebelumnya yaitu tetap mengembalikan putusannya pada Pengadilan Tingkat Pertama yaitu Putusan PN Depok No. 83/Pid.B/2018/PN.Dpk dalam amar putusannya menetapkan barang-barang bukti dirampas untuk negara. Berdasarkan Pasal 46 Ayat (1) KUHAP, tidak ada sama sekali penjelasan mengenai adanya kewenangan negara untuk mengambil hasil barang sitaan, melainkan barang sitaan seharusnya dikembalikan kembali kepada orang yang berhak.
Analisis Hukum Penetapan Tersangka dalam Kasus Pungutan Liar (Pungli) sebagai Tindak Pidana Korupsi
Pandjaitan, Darwin;
Herman, Herman;
Haris, Oheo K.
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 3 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 3
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i3.10361
Saksi selaku pemberi uang dalam kasus Pungutan Liar (Pungli) sebagai Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12 huruf (e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Atas Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara hukum tidak dapat ditetapkan menjadi Tersangka memberi suap atau hadiah, karena Saksi selaku pihak yang memberikan uang kepada Tersangka (pelaku pungli) sama sekali tidak punya inisiatif atau niat jahat (mens rea) melainkan karena terpaksa, dimana Tersangka pelaku pungli berada dalam posisi lebih dominan dengan menggunakan kedudukan atau kekuasaan yang ada padanya. Dalam persidangan Penuntut Umum sering kali tidak mampu membuktikan unsur “memaksa†sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 huruf (e) tersebut, sehingga dalam surat tuntutannya Penuntut Umum menjerat Tersangka/Terdakwa dengan menggunakan Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Atas Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal kedua tindak pidana tersebut merupakan 2 (dua) hal yang berbeda.
Legalitas Perluasan Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia
Wirawan, I Made;
Haris, Oheo K.;
Handrawan, Handrawan
Halu Oleo Legal Research Vol 2, No 1 (2020): Halu Oleo Legal Research: Volume 2 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v2i1.10604
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah legalitas perluasan alat bukti elektronik; dan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam persidangan. Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan yang diajukan, dilakukan penelitian yang berbentuk yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual serta pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkenaan dengan Dalam hal ini, bukti elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah dengan statusnya sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan alat bukti yang tidak sendiri (pengganti surat dan perluasan bukti petunjuk sepanjang berasal dari sistem yang reliabel atau terjaga sistem keamanannya sehingga terjamin keautentikannya). Statusnya sebagai alat bukti yang berdiri sendiri berarti merupakan bagian dari jenis-jenis alat bukti yang ditentukan dalam KUHAP, yaitu sebagai pengganti bukti surat apabila memenuhi prinsip kesetaraan fungsional/padanan fungsional (functional equivalent approach) dan bagian dari bukti petunjuk. Bukti elektronik juga seharusnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam KUHAP untuk pembuktian seluruh jenis tindak pidana di pengadilan. Walaupun KUHAP sebagai lex generalist tidak mengaturnya, namun berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai lex specialist, bukti elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk pembuktian seluruh tindak pidana di pengadilan. Mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik sebagai alat bukti pada khususnya dalam KUHAP masih belum kuat sebelum adanya keterangan dari pihak yang ahli atau pakar elektronik dan telematika sendiri. Interpretasi hukum hakim akan mengubah status bukti elektronik dengan melakukan generalisasi bukti elektronik yaitu mengubah status bukti elektronik tersebut.