Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REVISI Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau UU Polri masuk daftar usulan Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas untuk dibahas pada 2025. Usulan itu tercantum dalam bahan rapat panitia kerja Badan Legislasi atau Baleg DPR bersama Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 yang ditayangkan di rapat tersebut, revisi UU Polri tercatat sebagai usulan baru yang dinaikkan dari daftar rancangan undang-undang atau RUU Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029. “Ya, sampai sekarang, kan, makanya UU Polri kami tetap masukkan, bahkan 2025 dan 2026,” kata Ketua Baleg DPR Bob Hasan di ruang rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 18 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun RUU Polri masuk sebagai usulan Komisi III DPR, berbarengan dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Perampasan Aset.
Usulan agar revisi UU Polri masuk Prolegnas Prioritas 2025, menurut Bob, berhubungan dengan pembahasan RUU Perampasan Aset. Politikus Partai Gerindra itu menjelaskan, pembahasan RUU Perampasan Aset bakal menentukan mekanisme penerapan regulasi itu, yakni antara conviction based (berbasis putusan pengadilan) dan non-conviction based (tanpa pemidanaan).
Adapun mekanisme non-conviction based itu, ujar Bob, berarti perampasan aset akan mengandalkan aparat penegak hukum. Dengan demikian, Bob menilai perlu adanya kesiapan aparat penegak hukum seperti Polri hingga kejaksaan untuk melaksanakan mandat perampasan aset ketika RUU tersebut disahkan. “Menjadi pertanyaan sekarang, aparat penegak hukum sudah siap belum untuk melaksanakan kewenangan tadi? Publik percaya enggak?” ujar Bob.
Bob Hasan lantas menekankan pembahasan RUU perlu memenuhi prinsip meaningful participation atau partisipasi publik yang bermakna. Penyusunan produk legislasi itu penting untuk diketahui masyarakat. Ia tak ingin publik tidak mengetahui isi produk legislasi yang tengah digodok di parlemen sehingga mereka harus menafsirkan sendiri. “Kalau publik hanya tahu judulnya, itu pun menodai demokrasi,” ujar Bob.
Pilihan Editor: