Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

Newsletter

Berat Beban Tanggung Renteng atau Co-Payment untuk Asuransi

Skema tanggung renteng atau co-payment untuk pembayaran klaim asuransi swasta akan berlaku mulai 1 Januari 2026.

30 Juni 2025 | 18.00 WIB

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar bersama para ketua asosiasi perasuransian saat meluncurkan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri Perasuransian Periode 2023-2027 di Jakarta, 23 Oktober 2023. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar bersama para ketua asosiasi perasuransian saat meluncurkan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Industri Perasuransian Periode 2023-2027 di Jakarta, 23 Oktober 2023. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

JIKA Anda pengguna asuransi kesehatan, siap-siap saja. Mulai 1 Januari 2026 akan berlaku skema tanggung renteng atau co-payment untuk pembayaran klaim asuransi swasta. Dengan kata lain, Anda selaku pemilik polis asuransi swasta akan tetap dimintai biaya apabila menjalani rawat jalan atau rawat inap di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Skema co-payment diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Dalam regulasi yang terbit pada pada 19 Mei lalu ini, OJK mewajibkan pemilik polis asuransi kesehatan swasta untuk menanggung biaya medis paling sedikit 10 persen dari yang diklaim. Namun masih ada pembatasan, maksimal Rp 300 ribu per klaim untuk layanan rawat jalan dan maksimal Rp 3 juta per klaim untuk layanan rawat inap.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

Logo

Ketika merilis surat edaran itu, OJK berdalih pembahasan co-payment sudah lama dan melibatkan pemangku kepentingan seperti perusahaan asuransi dan rumah sakit. Meski tak ada perwakilan pemilik polis yang ikut diajak berembuk, OJK menyatakan aturan ini penting untuk membantu perusahaan asuransi yang sedang terbebani inflasi medis atau kondisi ketika seluruh biaya kesehatan naik. Tanpa co-payment, kata OJK, asuransi bisa saja kolaps.

Soal inflasi medis ini terlihat dari selisih antara biaya klaim dan pendapatan premi perusahaan asuransi yang kian tipis. Pada 2021, misalnya, selisih premi dengan klaim masih di angka Rp 4,46 triliun. Pada 2022 dan 2023 nilai selisihnya turun menjadi Rp 1,53 triliun dan Rp 650 miliar, ketika inflasi medis bertengger di kisaran 9-10 persen. 

Tapi ada persoalan lain di luar margin premi dan klaim yang terus menciut. Ternyata, investasi atau pengembangan dana premi oleh perusahaan asuransi juga jeblok. Menurut data OJK, pada Januari-Maret 2024 hasil investasi industri asuransi berada di kisaran Rp 3,6 triliun hingga Rp 12 triliun. Namun pada periode yang sama tahun 2025, nilainya tak lebih dari Rp 1,62 triliun. Bahkan pada Februari 2025 terjadi minus Rp 6,043 triliun alias boncos. 

Kerugian investasi perusahaan asuransi mengundang pertanyaan. Memang, di satu sisi pasar keuangan dalam beberapa waktu terakhir lesu karena banyak sentimen negatif. Tapi pengelola dana investasi asuransi, jika memang cerdas, bisa saja bermain di portofolio dengan imbal hasil stabil atau berisiko rendah sehingga tak merugi. Muncul dugaan, apakah mereka menanamkan dana pengembangan premi pada aset berisiko?

Tentu kita semua ingat dengan kasus-kasus investasi jeblok industri asuransi. Kasus Asuransi Jiwasraya, Kresna Life, Wanaartha Life, hingga Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi bukti bahwa pengelola dana asuransi rentan tergoda bujuk rayu manajer investasi yang menawarkan aset bodong dengan imbalan komisi. Bukan tak mungkin boncosnya investasi perusahaan asuransi disebabkan perilaku lancung semacam ini dan nanti kita selaku pemegang premi yang harus menanggung akibatnya.

Yang juga perlu disoroti adalah cara-cara culas pengelola rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang menyebabkan overclaim atau kelebihan klaim karena asuransi harus membayar layanan medis yang sebenarnya tidak diperlukan pasien. Inflasi medis yang yang terus menanjak kemungkinan besar didorong oleh praktek semacam ini. Lagi-lagi, kita semua yang kena getahnya. 

Ketika menyusun laporan soal co-payment, tim Ekonomi dan Bisnis Tempo banyak menerima informasi sekaligus aspirasi para pemegang premi yang merasa dirugikan apabila skema ini berlaku. Ada pula bocoran-bocoran soal "pendekatan" pelaku industri asuransi kepada OJK. Di sisi lain OJK sudah lebih dahulu pasang badan, dengan menyatakan co-payment adalah inisiatif mereka untuk menjaga industri asuransi kesehatan agar tetap sehat.

Seperti apa isi laoran tersebut, baca laporan lengkapnya di Majalah Tempo edisi terbaru dan subscribe di web Tempo.co

Baca laporan selengkapnya: Investasi Boncos Perusahaan Asuransi

Fery Firmansyah

Redaktur pelaksana desk ekonomi dan bisnis. Lulus tahun 2002 dari Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat. Mantan analis di sebuah perusahaan otomotif, pernah menjadi jurnalis televisi, bergabung dengan Tempo pada 2006. Kini menempuh studi master bisnis di Universitas Gadjah Mada

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2025 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum