Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Ulama Pesantren di Aceh
Abstract
Kepemimpinan perempuan dalam Islam masih menjadi salah satu persoalan yang menjadi perdebatan di kalangan Ulama di dunia, Indonesia bahkan di tingkat daerah. Aceh merupakan satu-satunya daerah legalisasi pelaksanaan syariat Islam di Indonesia, sehingga mengetahui pandangan para Ulama di Aceh tentang kepemimpinan perempuan yang masih menjadi polemik merupakan hal yang sangat penting dan menarik, terutama pandangan para Ulama Pesantren di Aceh. Studi ini berbentuk analisis terhadap jajak pendapat yang dikumpulkan dari pandangan para ulama Pesantren di Aceh terhadap kepemimpinan perempuan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa Ulama Pesantren di Aceh memiliki dua pandangan dalam meninjau kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin. Pertama, membedakan antara urusan Syariah dan muamalah. Dalam urusan syariah, para Ulama sepakat tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin, seperti menjadi Imam shalat dan Khatib Jumat. Sedangkan dalam urusan muamalah, mereka membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin, seperti menjadi Kepala sekolah, ketua PKK, ketua Koperasi dan lain-lain, hingga Jabatan legislatif dan eksekutif. Kedua, Ulama Pesantren di Aceh “memberi celah” bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, yaitu mereka pada dasarnya melarang atau tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin. Namun, apabila ada diantara perempuan yang mencalonkan diri, dan dia memiliki kemampuan dan dijamin keagamaannya, maka hal tersebut tidak dipermasalahkan, asalkan ia memiliki kecakapan dan berada pada jalan syariat Islam. Kata Kunci: Pemimpin, Perempuan, Ulama Pesantren. Abstract Female leadership in Islam is still one of the contentious issues among Ulama in the world , Indonesia and the local level. Aceh is the only area of the legalizations the implementation of Islamic law in Indonesia, so knowing the views of the Ulama in Aceh on women's leadership is still being debated is a very important and interesting, especially the view of the Ulama Pesantren in Aceh. This study is an analysis of the poll form collected from the view of the scholars boarding school in Aceh on women's leadership . The results of this study indicate that the boarding school in Aceh Ulama have two views in reviewing the permissibility of a woman becoming a leader . First , distinguish between Sharia and muamalah affairs. In matters of sharia , the scholars agreed not allow a woman becomes a leader , as an Imam and Khatib. While in the affairs muamalah, they allow a woman to become leaders, such as being a school principal, chairman of the KOPERASI, up to the legislative and executive Position. Second , Ulama Pesantren in Aceh "giving gap" for women to become leaders, that they basically do not prohibit or allow a woman becomes a leader. However, if there is among women who ran, and he has the ability and guaranteed religious, then it do not matter, as long as he has the skill and are on the way Islamic law.
References (8)
- Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdhlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
- Al-Qardhawi, Yusuf, Fatawa Muashirah, Al-Maktabah As-Syamilah.
- Amirudin, Hasbi, (ed), Apresiasi Dayah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Aceh, Banda Aceh: Persatuan Dayah Inshafudin, 2010. as-Syafie, Imam, Al-Umm, Vol.I.
- Az-Zuhaihi, Wahbah, Fihqul Islamiy wa Adillatuhu, Bairut: Dar Fikr, 1984.
- Baz, Abdullah bin Abdul Azin bin, Majmuk Fatawa Ibn Baz, Hurgronje, Snouck, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jilid II (terjemahan), Jakarta: INIS, 1997.
- Putri, Raihan, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Antara Konsep dan Realita, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press).
- Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Semarang: Toha Putra, tt. www. Fatihsyuhud.net, diakses pada tanggal 30 Maret 2014.
- Ziemek, Manfed, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1983)